Senin, 19 April 2010

Praktek TIK

Artikel 1

Pendidikan Anti Korupsi


Judul: Pendidikan Anti Korupsi
Bahan ini cocok untuk Informasi / Pendidikan Umum.
Nama & E-mail (Penulis): Y A N T O
Saya Mahasiswa di FE UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
Topik: INVESTASI JANGKA PANJANG
Tanggal: 17 AGUSTUS 2004

Pendidikan Anti Korupsi
Oleh: Yanto
Demokrasi menjadi tidak semanis kembang gula. Ketika tatanan hukum dan sistem pendidikan terpisah dari rangkaiannya. Pendidikan anti korupsi diperlukan sebagai bagian integral untuk meluruskan demokrasi yang mengalami disfungsi. Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia terbitan Media Center diartikan sebagai hal atau keadaan tidak berfungsinya sesuatu secara wajar. Cita-cita luhur universal demokrasi adalah memberikan ruang kebebasan bagi setiap manusia untuk mendapatkan hak-hak kemanusiaannya itu sendiri.

Melihat kekacauan -dalam pengertian berjalannya sistem negara- maka menurut beberapa penelitian, Indonesia memang rentan mengalami gangguan atau distorsi. Dalam sebuah masyarakat majemuk, demokrasi dan nasionalisme memang sering menjadi sebuah dilema. Tuntutan-tuntutan demokratissai yang idealnya memperkuat nasionalisme, realitasnya juga memunculkan konflik-koflik etnis yang bisa membahayakan demokratisasi itu sendiri, yang bukan tidak mungkin lalu atas nama negara kebangsaan malah melahirkan pemerintahan otoriter baik sipil atau militer (Larry Diamond & Marc F.Platner, terjemahan "nasionalisme, konflik etnis dan demokrasi, ITB Press,1998)

Seorang Mohamad Hatta lebih dari setengah abad yang lalu mengatakan, korupsi ini adalah penyakit sosial yang membudaya ditengah kehidupan masyarakat Indonesia. Merujuk A. Mukti Fadjar sebagaimana penelitian Donald L. Horowitz mengenai demokrasi pada masyarakat majemukmenunjukkan bahwa demokrasi dan demokratisasi dapat mengalami kegagalan karena berbagai alasan seperti perlawanan dari kaum sipil atau militer yang terserobot , tiadanya kondisi sosial atau budaya kondusif, lembaga yang dirancang secara tidak tepat, dan pada banyak negara di Afrika, Asia, dan Eropa Timur adalah konflik etnis.

Kemudian tidak terlalu salah kiranya jika pada perayaan kemerdekaan di bulan Agustus ini kita instropeksi diri. Ternyata lebih tepat jika bangsa ini masih disebut sebagai bangsa parasit. Masyarakat masih terlalu mudah diadu domba hingga melahirkan kerusuhan. Sikap kita masih sering mencurigai keberadaan kelompok masyarakat yang lain. Bahkan, kita tidak ambil peduli ketika gelombang ribuan pengungsi yang harus meninggalkan tempat hidupnya karena konflik.

Dorongan untuk menegakkan demokrasi dan civil society ini harus dimulai dari gerakan yang sungguh-sungguh untuk memerangi korupsi maupun suap. Lembaga pemerintah anti korupsi tidak bisa berjalan dengan keterbatasannya yang disebabkan dibawah subordinasi kekukasaan. Negara ini harus benar-benar mebentuk tim yang independen untuk memberantas korupsi. Bahkan kalau perlu memeriksa seorang presidenpun bukannya sebatas pada Gubernur ataupun pembantu presiden saja. Termasuk kepala kepolisian.

Kita dapat belajar dari pengalaman-pengalaman negara lain yang secara serius melakukan hal ini. Contohnya badan anti korupsi yang terkemuka dinegara-negara berkembang yaitu ICAC (independent Commision Againts Corruption ) di Hongkong. Dalam buku "Membasmi korupsi " karya Robert Klitgaard (2001:130) dapat ditelusuri mengapa dan bagaimana ICAC didirikan, dan bagaimana ICAC mencapai sukses dalam membersihkan korupsi dijajaran kepolisian Hongkong. Sebagaimana di Indonesia, banyak orang Hongkong yakin bahwa korupsi itu berurat -akar dalam kebudayaan Cina di Hongkong. Ada yang menarik kesimpulan fatalistik, dengan mengatakan bahwa usaha-usaha untuk mengurangi krupsi itu akan sia-sia. Kaum pesimistik dapat dengan mudah mengutip berbagai catatan kegagalan kampanye anti korupsi di masalalu.

Namun pada tahun 1971 pemerintah Hongkong meloloskan sebuah undang-undang pencegahan suap yang brilian. Undang-undang itu memperluas kategori-kategori pelanggaran. Bagi mereka yang dicurigai, kekayaan pribadinya melampaui pendapatan, atau yang menikmati tingkat hidup diluar apa yang dimungkinkan oleh penghasilan, beban pembuktiannya beralih: mereka harus bisa membuktikan diri tidak bersalah. "Dalam setiap tuntutan terhadap seorang karena pelanggaran menurut undang-undang ini, beban memberikan pembelaan yang sah atau dalih yang dapat diterima terletak dipihak tertuduh."(2001:139) Pendek kata ini merupakan pembalikkan dari asas praduga tak bersalah yang lazim digunakan seperti di Indonesia. Mampukah kita menata hukum kita demikian? Tentunya kita masih harus mengkorelasikan antara pendidikan anti suap dengan sistem hukum nasional.

Pelaksanaan pemilu 2004 yang dilangsungkan secara aman dan relatif lebih baik daripada pemilu masa lampau belum memberikan arti apa-apa jika tidak diikuti dengan kemauan mengkoreksi tatanan hukum nasional. Menarik sekali mencermati apa yang dikatakan oleh Satjito Rahardjo (1990-1), bahwa Negara Republik Indonesia yang berdasarkan atas hukum (NBHI) adalah suatu bangunan yang belum selesai disusun dan masih dalam proses pembentukannya yang intensif". Pertanyaannya adalah beranikah para anggota DPR beserta DPD yang terpilih merumuskan tatanan baru yang lebih kondusif?

Pertanyaan ini tidak mudah untuk dijawab. Demokrasi dinegara ini masih teramat rapuh. Ketamakan politisi sipil telah mengalihkan fungsi legilatif dari yang sepatutnya. Pembahasan undang-undang dan sebagainya tidak mencerminkan adanya perubahan mendasar. Sehingga kasus-kasus kudeta terselubung terhadap demokrasi mudah saja terjadi. Coba lihat kasus impor gula. Ternyata dibalik regulasi atau kebijakan yang seakan-akan memihak pada rakyat, penguasa negara sendiri yang melakukan kejahatan. Belum lagi kasus pemanfaatan aparatur hukum sebagai bidak-bidak catur politik untuk melanggengkan kekuasaan. Aparat negara negara yang berselingkuh dengan kepentingan politik tentunya karena mendapat imbal suap.


Artikel 2

Kekerasan pada Anak

KEKERASAN terhadap anak-anak {child abuse) dalam berbagai bentuknya memang terjadi di mana-mana. Tidak mengenal institusi dan wilayah. Di Amerika Serikat, menurut data The Federal Administration for Children and Families, sebanyak 5, 8 juta anak menjadi korban kekerasan di tahun 2007. Indonesia sendiri menurut data yang disampaikan Tina Dahlan, Dosen Psikologi UPI Bandung, setidaknya berdasarkan riset tahun 2006, 30 dari 1000 anak Indonesia mengalami kekerasan.

"Yang tidak disangka, kasus kekerasan pada anak sering terjadi di wilayah domestik seperti keluarga atau di lingkungan yang selama ini dipercaya untuk bisa menjaga anak," ujar Tina Dahlan, saat berbicara pada diskusi "Child Abuse, Why Could it be Happen?" di Aula PKM Kampus UPI Jln. Seriabudhi Bandung, Sabtu (20/3). Acara yang diselenggarakan komunitas Subli-motion di bawah Keluarga Mahasiswa Psikologi UPI ini mendiskusikan film An American Crime, sebagai contoh kasus. Film produksi tahun 2007 ini mengangkat salah satu kisah nyata child abuse paling biadab dalam sejarah Amerika Serikat di tahun 1965. Sejarah mengenaskan ini dimulai saat Gertrude Baniszewski, seorang janda enam anak dari keluarga Yahudi di Indianapolis, AS menawarkan diri untuk menampung Sylvia Likens yang dititipkan kedua orang tuanya, pengusaha karnaval lintas negara bagian.

Sejalan dengan waktu, dipicu kiriman uang orang tua Sylvia yang telat serta merasa dituduh sebagai ibu seorang pelacur, Gertrude, menyiksa Sylvia dengan cara yang sangat sadis. Menyundut dengan rokok, mencambuk, menendang, me-nato tulisan dengan peniti panas pada tubuh Sylvia, melemparnya dari tangga hingga menyuruh Sylr via memakan (maaf) kotoran sendiri. Lebih sadisnya lagi, Gertrude, mengarang beragam alasan bohong agar enam anaknya dan teman-teman satu lingkungan mereka untuk melihat dan membantu menyiksa. Anak-anaknya yang berumur remaja hingga balita pun setiap harinya memberlakukan Sylvia bak samsak tinju selama disekap di ruang bawah tanah.

Dengan satu alasan yang diungkapkan salah seorang anak Gertrude, "J thought we were just teaching heri" Sylvia, gadis cantik yang selalu tampak ceria dalam dokumentasi aslinya ini akhirnya ditemukan dalam keadaan tidak bernapas oleh polisi dengan kondisi sangat mengenaskan. Kerusakan otak, malnutrisi. dan 150 luka di sekujur tubuhnya. Kejahatan manusia yang tidak pernah terbayangkan terjadi di lingkungan domestik. Bagaimana bisa lingkungan yang seharusnya melindungi justru berbalik melecehkan bahkan memusnahkan masa depan anak?

Dalam tinjauan ilmu psikologi, perilaku macam Gertrude umum terjadi pada para pelaku child abuse. Menurut Tina, id, ego, dan superego yang ada pada teori Sigmund Freud, bergantian fungsi begitu cepatnya pada pelaku. Saat id berupa naluri ego yang memikirkan realitas bergejolak langsung diputuskan dengan tindakan kekerasan, baru di akhir, superego berupa norma, nilai, dan hukum menyatakan penyesalannya.

Pada kasus Sylvia, Gertrude menyimpan emosi dari ketiadaan pasangan serta kelelahan mengurus anak-anak sendiri. "Exhausted, bukan sekadar tired sehingga terjadi displacement energy (pemindahan energi) yang disalurkan pada Sylvia," ujar Tina. Energi yang semakin lama memuncak tersebut disalurkan pada tempat yang salah. "Nah, untuk memperkuat apa yang dilakukannya, Gertrude melakukan pembenaran (defence mechanism) yang bersifat rasionalisasi dengan serangkaian kisah bohong, yang akhirnya dimutasi melalui perilaku anak-anak di sekelilingnya," kata Tina.

Walaupun masih anak-anak, penanaman superego haruslah benar, seperti memberikan penjelasan akan sebuah pekerjaan baik seperti belajar, beribadah. "Bila superego yang positif ini ditanam dengan baik, akan menancap ke anak sehingga menghindarkannya dari perbuatan yang tidak sesuai norma atau nilai," ungkapnya.**
heykal syaban.